Mengungkap Tabir Politik Global Warming dan Gunung Meletus




IKLIM POLITIK : POLITIK IKLIM
Merajalelanya kasus mapia telah sampai pada beragam bidang termasuk mapia iklim dengan dalih dan atribut peneliti, aktivis atau bahkan kementrian Lingkungan Hidup (LH) internasional. Iklim politik yang terjadi saat ini memanas pada politik iklim global sebagai kejadian ekstrim yang melanda dunia akhir-akhir ini oleh akibat eksploitasi bebas tak terkendalikan oleh kekuatan hukum sekalipun. Tunduknya hukum dan lemahnya suara pejuang kebenaran akan kesesuaian alam telah nyata tersaksikan mata telanjang maupun mata batin.

Menurut Andrew Light, Koordinator Kebijakan Iklim Internasional (Coordinator of International Climate Policy), negara-negara perlu mancari suatu jalan atau forum untuk menindak lanjuti hasil dari COP 15tahun lalu, contohnya melalui forum G-20 atau the Major Economies Forum. Tindak lanjut tersebut dicanangkan pada pertemuan KTT Iklim di Meksiko mulai 29 November 2010-10 Desember 2010 dengan sebelumnya dilakukan perundingan di KTT China pada Oktober 2010 yang sudah berlangsung.

Hasil KTT Iklim Copenhagen 2009
Pertemuan mewah para pemain (pemimpin) dunia dalam Conference of Parties The United Nations Framework Convention on Climate Change. Berlangsung di Kopenhagen Denmark yang membahas masalah perubahan iklim dunia tahun lalu menemui jalan buntu dan tidak sedikit yang menjustifikasi gagal total yang ditegaskan Juru bicara Pusat Ilmu Pengetahuan dan Lingkungan Hidup India, Suparno Banerjee karena tidak menghasilkan kesepakatan yang mengikat secara hukum negara-negara maju untuk ikut mematuhi kesepakatan internasional penanggulangan pemanasan global. “Kita telah gagal menciptakan sebuah kesepakatan yang mewajibkan seluruh dunia untuk melakukan tindakan guna mengendalikan perubahan iklim,” kata Banerjee.

Tidak semua peserta yang dihadiri 193 negara mendukung kesepakatan hasil pertemuan dalam upaya mengatasi masalah pemanasan global. Dua minggu dalam pembahasan dan negosiasi-negosiasi dilakukan secara marathon siang-malam alhasil tak mampu menembus sebuah keputusan yang dapat mengikat seluruh Negara dunia untuk ikut serta memikul tanggungjawab dari konsekuensi gobal warming.

Hal aneh dalam konferensi gagasan PBB itu mencetak sejumlah pemimpin negara, termasuk para juru kampanye dan pakar lingkungan hidup kecewa dan frustasi atas sikap sebagian negara maju yang lebih mengedepankan kepentingan diri sendiri ketimbang kepentingan seluruh umat manusia dalam upaya mengatasi dampak pemanasan global.
Pengecaman terhadap sikap Obama dari organisasi-organisasi lingkungan hidup dan negara-negara berkembang seperti Venezuela dan Kuba serta media massa Eropa dalam menyikapi isu pemanasan global dan perannya dalam menghasilkan kesepakatan itu : "Dia (Obama) membentuk sebuah liga negara-negara pencemar lingkungan hidup terbesar dan negara-negara yang berpotensi menjadi pencemar lingkungan. Liga itu mirip sebuah koalisi para srigala yang bergabung untuk mengendalikan sebuah 'kandang ayam'," tulis Bill Mckibben, penulis dan pakar lingkungan hidup dalam kritiknya yang dimuat majalah AS, Grist.

Poin kesepakatan lainnya yang juga bermasalah yaitu rencana bantuan bagi negara-negara miskin dalam upaya mengatasi masalah pemanasan global. Bahwa negara-negara akan diberi bantuan sebesar 30 miliyar dollar dalam jangka waktu tiga tahun ke depan untuk membiayai program-program penanggulangan pemanasan global. Setelah tiga tahun, bantuan akan ditingkatkan sebesar 100 juta dollar per tahun sampai tahun 2020.

Hasil KTT Iklim China 2010
KTT Iklim di Tianjin Cina disinyalir tidak banyak membuahkan output yang jelas. Selama enam hari pertemuan sampai 09 Oktober 2010 sangat kental diwarnai perbedaan paham antara Amerika dan Cina. Kedua negara tersebut saling menuding telah memperlambat kemajuan dalam pertemuan. Konferensi di Tianjin ditujukan untuk menghasilkan dasar bagi perundingan selanjutnya dalam KTT Iklim di Meksiko mulai 29 November 2010 yang akan dibicarakan tindak lanjut protokol Kyoto yang berakhir tahun 2012.

Ntah seperti apa pertemuan KTT Iklim Meksiko sekarang hasilnya, mungkin pula kegagalan selanjutnya akan terjadi dikarenakan perseturuan yang terjadi di China ini. Namun Christiana Figueres, sebagai wakil ketua PBB bagi masalah iklim, berusaha terus bersikap positif dengan menegaskan bahwa setidaknya telah dicapai kemajuan kesepakatan mengenai masalah CancĂșn Meksiko.

KTT Iklim Meksiko
MENTERI Luar Negeri (Menlu) Meksiko Patricia Espinosa bertemu Mcnlu Indonesia Marty Natalegawa, kemarin. Espinosa ke Jakarta untuk meningkatkan kerja sama bilateral dua Negara untuk pula membahas persiapan Conference of Parties (COP) 16 United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) di Cancun. Meksiko, akhir tahun ini sebagai kelanjutan dari COP 15 Copenhagen tahun lalu ditegaskan Natalegawa. Dan timpal Espinosa "Kami akan bekerja berdasarkan Bali Action Plan untuk menunjukkan pentingnya dan luasnya jangkauan konferensi ini. Kami perlu dukungan internasional dalam peran kami sebagai ketua konferensi mendatang di Cancun, Meksiko."

Mengenai hasil KTT Iklim Meksiko ini kita saksikan saja nanti, apakah ada perubahan atau selalu hanya formalitas global saja untuk meredam amuk para manusia dunia yang selalu protes akan Global Warming yang ditenggarai Negara maju sebagai penyumbang emisi terbesar ataukah kemungkinan besar akan dikatakan gagal lagi oleh sebab ketidaktegasan dalam KTT iklim di China sebelumnya.

KTT Iklim PBB Senin tadi di Meksiko dihadiri sekitar 200 negara yang bertujuan mencari kesepakatan dalam pendanaan dan pendekatan-pendekatan untuk memelihara hutan hujan serta persiapan menghadapi dunia yang panas. Pertemuan iklim tersebut mencari upaya memformalisasi target-target yang ada untuk mengatasi emisi GRK.

Dua penghasil emisi terbesar dunia, yakni Amerika Serikat dan China, di mana AS menuntut China lebih berupaya lagi mencegah emisi, seperti halnya dengan tuntutan dalam soal perdagangan bebas dan hak asasi manusia. Presiden Meksiko Felipe Calderon berkata pada awal pert muan "Dilema antara perlindungan lingkungan dan mengentaskan kemisikian, antara memerangi perubahan iklim dan pertumbuhan ekonomi ini adalah sebuah dilemma yang sumbang," katanya menunjuk energi terbarukan di mana dia meresmikan pembangkit listrik dari angin yang digunakan oleh hotel di mana konferensi diadakan.
Calderon mengatakan pembicaraan ini akan memokuskan perhatian pada persiapan-persiapan dalam menghadapi dunia yang lebih panas, yang adalah titik utama perhatian negara-negara miskin. "Pada dasarnya, apa yang akan kita diskusikan adalah adaptasi," katanya.
Pernyataan ini berseberangan dengan kata-kata dari tim negosiator Uni Eropa yang menyebut pembicartaan itu harus juga menghasilkan komitmen yang lebih tegas dalam janji emisi yang ada, termasuk dari negara-negara berkembang. "Kami akan mencari serangkain keputusan terbatas di Cancun.
Kami berharap kami akan membentangkan jalan ke depan," kata Artur Runge-Metzger, perunding senior dari Uni Eropa. "Kami melihat garis besar untuk sebuah kompromi," kata Peter Wittoeck, perunding senior dari Belgia yang kebagian menjadi pemimpin Uni Eropa. Sasaran utama KTT Iklim ini adalah menyetujui kesepakatan iklim yang lebih tegas untuk menggantikan Protokol Kyoto yang akan berakhir tahun 2012, demi langkah maju dalam memerangi pemanasan global. Suhu Bumi akan melonjak sampai 4 derajat Celcius sampai 2060an dan membutuhkan investasi 270 miliar dolar AS setahun hanya untuk mencegah naiknya permukaan laut, demikian hasil sebuah penelitian, Minggu.( Sumber : Antara ; http://indonesianvoices.com/)


Tindakan Indonesia
Indonesia termasuk sebagai salah satu penghasil emisi karbon terbesar bukan karena industry, tapi karena deforestation (pembukaan lahan hutan) pula, dikatakan oleh Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI) negara. Emisi gas rumah kaca (GRK) Indonesia mencapai 2,1 milyar ton karbon dioksida di tahun 2005, membuatnya sebagai penghasil emisi gas rumah kaca ke-3 di dunia, namun menawarkan kesempatan untuk mengurangi emisi secara substansial melalui konservasi hutan, pengurangan penggunaan api, perlindungan lahan gambut, dan manajemen hutan yang lebih baik, menurut laporan rangkaian penelitian yang dikeluarkan awal oktober 2010 lalu.

Penelitian yang dilakukan oleh McKinsey & Co, menggunakan kurva penurunan gas rumah kaca mengidentifikasi beberapa pilihan untuk memotong perkiraan emisi secara signifikan dengan biaya rendah. Lima kesempatan terbesar adalah mencegah penggundulan hutan (570 juta metrik ton di tahun 2030), mencegah kebakaran lahan gambut (310 m ton), mengelola dan memperbaiki lahan gambut (250 m ton), mengimplementasikan dan menegakkan manajemen hutan yang berkesinambungan (sustainable forest management / SFM) (240 m ton), dan menghutankan kembali hutan-hutan terbengkalai dan terdegradasi (150 m ton). Secara keseluruhan, Rhett A. Butler menganalisa hal tersebut dan menyimpulkan bahwa manajemen lahan yang lebih baik dapat memotong emisi hingga 1,9 milyar ton pada tahun 2030, atau lebih dari emisi industri India saat ini.

Reduction of Emissions from Deforestation and Forest Degradation (REDD) adalah sebuah mekanisme pengurangan deforestasi dan pengrusakan hutan dengan maksud mengurangi emisi dari deforestasi dan kerusakan hutan tersebut. Saat ini, emisi tataguna lahan menyumbang hampir seperlima (sekitar 6 GT) total emisi dunia, dan hampir seluruhnya terjadi karena deforestasi dan pengrusakan hutan. Setengah dari emisi ini dihasilkan hanya oleh dua negara, yaitu Indonesia dan Brazil. Indonesia menghasilkan emisi dari deforestasi dan pengrusakan hutan duakali lipat dari Brazil, sehingga deforestasi di Indonesia menyumbang sekitar sepertiga total emisi dari deforestasi dan pengrusakan hutan, atau sekitar tujuh persen total emisi dunia. Tak heran jika PEACE (2007) melaporkan bahwa jika emisi dari deforestasi ini dimasukkan ke dalam jumlah emisi total, maka Indonesia menjadi penghasil emisi terbesar ketiga di dunia di bawah Amerika Serikat dan Cina. (http://iklimkarbon.com/redd/)

Dalam kaitannya dengan skema REDD, tanpa mencantumkan “shall”, semua skema yang tercantum dalam teks ini bersifat persuasif, tidak memberikan kewajiban yang imperatif. Menurut kalangan aktivis, jika melihat norma-norma yang tekstual sejauh ini dan pandangan negara pihak, terutama negara berkembang mengenai REDD, nampaknya COP 15 tidak menghasilkan REDD yang mandatory tapi voluntary. Tarik ulur pencantuman target penghentian deforestasi pun berlangsung alot. Bahkan penentuan angka penghentian deforestasi tahun 2030 pun masih diperdebatkan sehingga dicantumkan dalam tanda kurung (bracket) karena banyak negara, merasa tidak sanggup dengan target tersebut. Hal ini tentu mengerikan, untuk sesuatu yang bersifat sukarela, negara-negara pemilik hutan masih enggan menaruh komitmennya di atas meja. Apalagi jika skema ini bersifat obligasi, mungkin tidak akan ada pada teks REDD.”
PL/Ant/Reuters

Beberapa negara, termasuk Indonesia, sebenarnya telah menyatakan komitmennya untuk menurunkan emisi Gas Rumah Kaca (GRK). China berjanji untuk menurunkan emisi GRK sebanyak 40-45% pada tahun 2012 dari level emisi pada tahun 2005, AS berjanji untuk menurunkan 3% pada tahun 2020 dari level emisi 1990, dan Indonesia berkomitmen untuk menurunkan 26% emisi GRK dan 41% jika ada bantuan internasional (KOMPAS, Senin 20 Desember 2009). Namun demikian apakah hal tersebut cukup? Negara-negara berkembang mulai menuntut negara-negara maju untuk mengurangi emisi puncak GRK pada tahun 2025. Untuk ini, tahun 2012, melalui PBB mereka meminta 10 miliar dollar AS per tahun dari negara-negara kaya untuk program anti global warming. Selanjutnya, tuntutan ini akan meningkat menjadi 100–200 miliar dollar AS per tahun sampai dengan tahun 2025.

Tindakan Indonesia selain menyatakan berasosiasi dengan "Copenhagen Accord", Indonesia juga akan mengirimkan surat pernyataan (submisi) target penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) 26 % pada 2020 dan program mitigasi perubahan iklim yang akan dilakukan kepada UNFCCC. Indonesia telah bertekad untuk bekerja lebih keras di KTT Perubahan Iklim mendatang yang akan diselenggarakan di Meksiko tahun 2010 nanti menurut Astri Gautama (Tenaga Ahli Bidang Luar Negeri)

Gunung Meletus :
Dikutip dari data NOAA (National Oceanic and Atmospheric Administration) Oktober 2010, “Bumi terus mengalami suhu di atas rata-rata dibandingkan temperatur di abad ke-20. Pendinginan global juga pernah terjadi saat letusan gunung Pinatubo di Filipina pada tahun 1991. Letusan ini menyebabkan pendinginan global yg sangat ekstrim dan ketinggian abu akibat letusan gunung tersebut mencapai 78.740 kaki atau sekitar 24 kilometer. “

Richard W. Gnagey mengatakan, “Hasilnya global warming selama seratus tahun terakhir bisa diimbangi dengan satu kali gunung meletus, asal letusannya besar dan sampai ke stratosfer”. Sama seperti letusan gunung Tambora bahkan mampu menurunkan temperatur cuaca hingga satu derajat Celcius.

Akhir-akhir ini dengan terjadinya letusan gunung berapi di pulau Jawa, berdasarkan penyidikan Volcanic Ash Centre Australia, disebut ketinggian abu vulkanik dari letusan gunung Merapi mencapai 55.000 kaki (17 kilometer). Letusan yang cukup kuat mendorong abu vulkanik masuk ke dalam lapisan stratosfer, tempat terjadinya cuaca. Abu tersebut kemudian menghalangi radiasi matahari yang masuk ke dalam atmosfer. Pendinginan global terjadi saat curah hujan berkurang dan abu cenderung menempel pada lapisan stratosfer.

Hubungan Global Warming dan Gunung Meletus
Dari hasil rangkaian dan analisa sebelumnya, penulis melihat ada kesenjangan antara peneliti geologi dan peneliti iklim dimana kasus-kasus alam yang terjadi tidak disinergikan dan kurang menarik benang merah antara keduanya sebagai solusi dan jalan keluar. Penelitian secara terpisah tanpa mampu mensinkronkan kedua hal tersebut tentunya hanya akan jadi desas-desus yang mencabang dan sulit mencari jalan keluar. Adapun jalan keluar hanya menurut pandangan sepihak dan dan solusi pun jelas sepihak.

Ditambah rumitnya kesepihakan yang terjadi di politik iklim itu jelas lebih ricuh dikarenakan perubahan iklim lebih terasa oleh beban emisi terutama yang disumbang oleh 3 negara (Amerika, China dan Indonesia). Hebatnya Indonesia dalam menyumbang emisi menurut penelitian bukan karena faktor industri, tapi pembukaan lahan hutan. Berbagai macam cara dilakukan, salah satu seperti perdagangan karbon . Penulis menyayangkan oleh segala sesuatu solusi yang terjadi di negeri ini selalu dikaitkan dengan akumulasi materialistis sehingga penulis mengganggap bahwa hal itu telah sama saja memutar-balikkan antara solusi dan soal/perkara utama. Betapa tidak fungsi dan peran manusia di muka bumi sebagai Rahmatan Lil’alamin rubuh oleh sebab pencapaian kepemilikan keuntungan berupa agunan semata yang di kira mampu menebas segala macam persoalan alam.

Penyadaran-penyadaran secara normative tengah dilakukan, namun berbagai pihak tidak serta merta memahami fungsi diri dan sosialnya untuk ikut dalam penyelamatan bumi dari keserakahan-keserakahan manusia lainnya sebagai perusak yang sistematis. Keterlambatan fatal manusia dalam menyelamatkan bumi adalah selalu menunggu dampak yang terjadi dan pencegahan selalu di nomor duakan. Namun, dari kajian terperinci diatas sesungguhnya penulis lebih mengagumi dampak dari letusan gunung berapi yang mencapai stratosfer yang ternyata menjadikan pendinginan global. Hal itu tentu sebaiknya diapresiatif para ilmuwan iklim untuk sama-sama mendudukkan perkara kekacauan bumi saat ini supaya hal inisiatif solusi tepat pada sasaran, sehingga tidak lagi menitik beratkan pada permainan uang apalagi jika itu semua dikonsolidasikan oleh para antek egosentris.

Saran :
Diperlukan aktivis dari kalangan manapun tanpa terkecuali yang mampu mengkaji masalah sebelum menyuarakan gagasannya serta merta ikut dalam penanaman nilai moral serta dampak kerugian yang mencekam jika keselarasan alam tidak benar-benar dilakukan.

Para praktisi dan peneliti Global warming mampu independen tanpa tergiur tawaran-tawaran untuk membeberkan fakta dan realita sehingga para oknum penyita data palsu dan demi kepentingan politik pincang dengan sangat gampang meng’ekor’kan alat vital (peneliti) sebagai pengikut kemauannya para corporate-corporate tak bertanggungjawab tersebut.

Tekad Indonesia tidak hanya disuarakan oleh kaum ahli lingkungan, iklim, kehutanan, dan pemerintah saja, tetapi masyarakat yang dekat dengan lahan hutan menyelidik dan melaporkan kejadian yang mencurigakan serta saling negosiasi dalam hal pengingatan bersama akan bahaya global jika manusia terus mengeksploitasi alam dan mengalokasikannya pada tempat yang tidak sesuai.

Indonesia harus mampu membereskan persoalan pembalakan liar (illegal logging) mesti dtuntaskan dan atas kesadaran semua pihak terkhusus department kehutanan sebagai badan peninjau, pengkaji serta pengambil keputusan. Dan masalah besar dari pemerintah baik posisi orang di department tersebut sekalipun Presiden hari ini kurang sangat tegas bahkan tak sedikit yang mencurigai banyak antek kapitalis serakah yang menduduki posisi kekuasaan Bangsa.


Bogor
Oleh : Ichacuhh W.S (Harisah Sundawatiningsih)
Mahasiswa : Meteorologi dan Geofisika IPB 2006; Lab : Iklim
Komisariat : F-MIPA HMI Cab. BOGOR
29 November 2010

Referensi bacaan penulis :
www.voanews.com
http://bataviase.co.id/
http://iklimkarbon.com/redd/
http://indonesia.mongabay.com/news/2010/id1001-0927-indonesia_abatement.html
http://www.csoforum.net/home/klipping-berita/190-indonesia-dukung-qcopenhagen-accordq.html
http://www.ramadhanpohan.com/luar-negeri/meretas-jalan-lanjutan-untuk-ktt-iklim-di-kopenhagen

0 comments: