PR 2.0 : Mengadaptasi Perubahan Konsumen di Era Social Media


PR 2.0 : MENGADAPTASI PERUBAHAN KONSUMEN

DI ERA SOCIAL MEDIA


Munculnya teknologi web 2.0 telah melahirkan revolusi di bidang internet. Semula informasi dari website berjalan searah, tapi sekarang semua orang bisa menjadi kreator konten di internet dengan berkembangnya layanan seperti blog dan situs jaringan sosial. Majalah Information Week (09/2007) menjelaskan “Web 2.0 is all the Web sites out there that get their value from the actions of users”. Jadi inti dari sebuah web 2.0 adalah keterlibatan user dan kecanggihan web tersebut dalam kolaborasi, interaksi dan melayani user. Contohnya adalah usaha pembaca dalam berkomentar dan trackbacks di blog. Dari sisi web, adalah adanya RSS di dalam Blog dimana semua informasi Blog dimungkinkan dapat diadaptasi.

Implikasi dari Web 2.0 adalah lahirnya Social Media atau Media Sosial yang kini telah menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam perkembangan teknologi internet. Beragam aplikasi internet berbasiskan media sosial kian marak dan mampu menyihir para pengguna internet di seluruh dunia. Dengan media sosial, setiap individu dapat saling berbagi cerita dan informasi dengan menggabungkan teknologi berupa tulisan, gambar, video maupun audio.

Jika dulu suatu produk informasi hanya bisa dipublikasikan oleh produsen saja, maka kini setiap individu bisa mempublikasikan informasinya sendiri atau dikenal dengan istilah User Generated Content (UCG). Setiap individu juga bisa langsung memberikan tanggapan atau komentar atas informasi yang dia peroleh dari media sosial. Hal ini membuat interaksi sosial antara satu individu dengan individu lain menjadi lebih cepat dan juga lebih murah.

Social media sejatinya adalah sebuah bentuk budaya yang dinamakan dengan budaya partisipasi. Tanpa adanya partisipasi dari pengguna, sebuah situs jejaring social belum pantas disebut sebagai social media walaupun situs tersebut dilengkapi fasilitas user generated content / consumer generated media. Mengapa demikian? Karena social media sangat menekankan pada aspek conversation, yang akan menentukan tinggi atau rendahnya budaya partisipasi yang terbentuk dalam social media tersebut. Blog, Social Networking, Social Blog, Forum, Micro-Blogging, apapun bentuknya apabila tidak memiliki budaya partisipasi yang memadai maka, social media tersebut akan menemui kegagalan.

Menurut data tersebut, yang dikutip VIVAnews , diketahui Indonesia merupakan negara dengan jumlah Facebook terbesar kedua setelah Turki di Benua Asia, yakni sebesar 5.949.740 pengguna. Sementara Turki, yang menduduki peringkat keempat di dunia, memiliki 10.926.180 pengguna per Selasa, 16 Juni 2009 pukul 17.00 WIB. Sementara itu, berdasarkan data dari Google Trend, pengunjung Twitter rata-rata per hari lebih dari 200 ribu orang (unique visitor). Sementara, forum diskusi Kaskus.us yang sering disebut sebagai situs komunitas terbesar di Indonesia yang memiliki anggota lebih dari sejuta orang. Namun, jumlah itu dikalahkan oleh pengunjung Twitter asal Indonesia. Data ini juga ditunjang oleh sejumlah perusahaan riset. comScore, misalnya, seperti ditulis TechCrunh mengatakan pengguna Twitter di Indonesia November 2009 lalu mencapai 1,4 juta orang. Adapun, pengguna Twitter global mencapai 60 juta orang.

Fenomena Social media secara fundamental mengubah cara perusahaan berkomunikasi. Maraknya Facebook, Twitter, Plurk, blog, wiki, youtube dan lainnya memaksa perusahaan meningkatkan cara komunikasi yang semula satu arah dan dua arah menjadi segala arah. Di tengah maraknya fenomena itu, praktisi PR masa kini harus menghadapi publisher baru. Mereka adalah para blogger, para facebookers, para friensdters, para plukers serta pemilik akun di Web 2.0 lainnya. Mereka adalah para konsumen. Internet memang telah mengubah posisi konsumen di mata perusahaan.

Di era Internet Web 2.0, konsumen melemparkan kekecewaan dengan menulis blog atau mem-posting-nya di berbagai milis serta social networking. Internet membuka banyak kanal untuk memprotes produsen. Di era ini, konsumen bebas menyampaikan pendapat dan melakukan percakapan secara horisontal satu sama lain di dunia maya, yang dikenal dengan era Web 2.0.

Namun sayangnya, Profesional PR masih lamban mengadaptasi perubahan konsumen di era digital ini, terutama yang didorong maraknya Web 2.0, para praktisi PR di Indonesia masih berkutat di Public Relations 1.0 -sebuah strategi PR yang menempatkan middle man, yakni para jurnalis, sebagai penyampai pesan-. Padahal, sesuai dengan konsep 2.0, PR 2.0 memanfaatkan web – web 2.0 untuk mencapai lebih jauh, lebih efektif dan tentunya juga lebih efesien dari segi biaya. PR 2.0 adalah definisi ulang dari kegiatan PR akibat pengaruh teknologi berbasis web dan multimedia. Jadi, PR 2.0 bukan lagi sekadar mengelola jurnalis, tetapi juga mengelola konsumen yang mampu menjadi publisher di dunia maya. Posisi konsumen kini sudah naik pangkat. Mereka tidak lagi sekadar konsumen, tapi juga publisher dan influencer.

Dengan demikian, yang harus disadari oleh setiap praktisi PR bahwa era sudah berubah. Penyampai pesan bukan lagi hanya media mainstream, baik televisi, cetak, radio maupun online. Semenjak blog mudah dibuat, forum online bertebaran dan social media bertumbuhan, setiap pengguna Internet bisa menjadi penyampai pesan. Mereka yang biasanya hanya menonton televisi membaca koran/majalah, medengarkan radio, browsing di Internet, kini juga bisa membuat blog, membuat akun di Facebook atau Friendster, dan menuliskan pesan apa saja yang mereka suka atau inginkan. Jika mereka tidak suka dengan pengalamannya mengonsumsi sebuah produk, mereka dengan mudah menulisnya di blog, di Facebook, dan menyebarkannya di forum atau milis. Mereka tidak perlu bersusah payah mengirim surat pembaca ke media cetak yang entah kapan dimuatnya.

Sebagai implikasi dari era Web 2.0 Pada era ini konsumen lebih sibuk berkomunikasi dan berbincang mengenai produk dan perusahaan dengan sama konsumen. Komunikasi horizontal terjadi. Namun Sayang komunikasi ini nyaris tidak melibatkan perusahaan. Inilah Inilah yang menyebabkan perusahaan gagap untuk berkomunkasi dan mendapatkan feedback dari pelanggannya. Survei yang dilakukan DEI Worldwide mengenai dampak social media terhadap perilaku belanja menunjukkan bahwa, 62% mengatakan informasi produk yang didapatkannya melalui percakapannya di social media lebih bernilai ketimbang informasi yang diterima dari iklan. Sementara itu, Survei yang dilakukan Forester Reseach tahun 2007 bahkan sudah meletakkan blogger sebagai influencer kedua setelah teman/keluarga dalam hal memutuskan konsumen membeli barang.

Bagi perusahaan yang terbiasa dengan produk siap pakai, perubahan ini relatif mudah diantisipasi, bahkan bisa dimanfaatkan sebagai peluang emas. Dell Computer misalnya, meluncurkan situs Dell’s Ideastorm yang mempersilahkan pelanggan untuk menyampaikan apapun produk yang mereka inginkan di masa mendatang. Salah satu hasilnya adalah Linux Box, yang jelas-jelas mencederai hubungan jangka panjang Dell dengan Microsoft yang selama ini menjadi mitra penting di sisi operating system.

Meski demikian, ada cara PR untuk mengurangi risiko gagal komunikasi dan pemasaran di social media. Pertama, lihatlah perubahan konsumen ini secara strategis terlebih dulu sehingga dapat digali potensi-potensinya baik untuk pengembangan produk maupun customer relations. Kedua, perusahaan mengantisipasi perubahan ini secara strategis, bukan sekadar melaksanakan program marketing dan public relations di social media, tetapi juga membangun organisasi yang siap mengeksekusinya. Sangat layak jika saat ini perusahaan besar memiliki manager baru di bidang social media. Ketiga: perkuat riset di bidang social media agar betul-betul memahami perilaku social media sehingga mampu membangun strategi yang tepat.

Dengan demikian, Untuk mengadaptasi perubahan konsumen di era social media. Sudah seharusnya bagi Praktisi PR lebih kreatif untuk mengantisipasi dan menanggulangi dampak yang merugikan perusahaan. Lalu apa yang sebaiknya harus dilakukan seorang PR?

Jika sebelumnya para humas lebih banyak bersentuhan dengan media (melalui strategi Media Relations), dengan pemerintah (melalui Goverment Relations) dan sedikit bersentuhan dengan konsumen melalui Marketing PR, maka kini mereka harus bersentuhan langsung dengan publik dan konsumen di dunia maya.

Konsumen yang bergabung di social media tidak butuh bahasa yang manis dan formal ala siaran pers. Yang mereka butuhkan adalah juru bicara perusahaan yang mengerti kebutuhan mereka dan sekaligus merespon keluhan mereka secepat mungkin. Konsumen juga butuh seorang praktisi PR yang bisa berinteraksi langsung dengan mereka dan melakukan percakapan. Tentu saja, ini bukan pekerjaan mudah. Apalagi praktisi PR itu wajib “berbicara” sesuai brand personality yang diwakilinya.

Jadi, PR 2.0 bukan lagi sekadar mengelola jurnalis, tetapi juga mengelola konsumen yang mampu menjadi publisher di dunia maya. Praktisi PR pada akhirnya harus update dengan teknologi terbaru. Mereka harus terus mengikuti perkembangan teknologi. Bila sekarang sedang tren Twitter, maka mereka harus terjun ke dalamnya biar mengerti bagaimana sebenarnya Twitter itu. Apa yang bisa dilakukan, aplikasi apa saja yang ada di Twitter yang bisa mendukung pekerjaan mereka.

Selain itu, Praktisi PR juga wajib adaptif terhadap perkembangan media social seperti Facebook, twitter dan media social lainnya diantaranya memahami apa beda Profile Page, Fans Page, Groups, dan Causes di Facebook, termasuk memantau perkembangan yang sangat pesat. Fans Page Facebook misalnya, terus menerus mengalami perubahan dan perbaikan yang bermanfaat untuk komunikasi merek. Pada saat yang sama praktisi PR juga perlu memahami aplikasi Facebook yang juga berkembang sangat cepat. Dengan memahami teknologi ini, praktisi PR diharapkan memahami implikasi aplikasi baru tersebut terhadap perusahaan dan merek yang ditangani. Selain itu, pemahaman user behavior lokal mutlak diperlukan untuk membangun strategi Public Relation di dunia maya dengan target konsumen Indonesia. Dengan demikian, secara praktis hal tersebut membuat kerja praktisi PR masa kini mengalami perubahan yang sangat luar biasa. PR masa kini bukan hanya harus cerdas berhubungan dengan influencer, termasuk media, tetapi juga dituntut untuk fasih berhubungan langsung dengan konsumen. Dan kita semua paham, karakter konsumen maya sudah pasti tidak sama dengan karakter jurnalis, media atau industri media, atau karakter medium dan influencer lain.

sumber disini