Dilema Sempitnya Lapangan Pekerjaan di Indonesia

Pernah tidak terbayang oleh diri kita kalau kita selesai sekolah pasti akan mendapat pekerjaan. Saya kira hampir setiap insan sudah mencanangkan hal ini jauh-jauh hari sebelum ijazah ada ditangan. Minimal 1 tahun menganggur untuk mengenal pasar bursa tenaga kerja, dan setelah itu pekerjaan sudah harus kita miliki.

Pernah tidak membuat target bahwa begitu lamaran pekerjaan berhasil maka dalam waktu 6 bulan kita sudah menikah. Saya kira kita semua pernah punya cita-cita seperti ini. Saya sendiri malah pernah ketemu dengan corat-coret yang lucu milik pribadi ketika baru saja tamat SMA. Alangkah naif nya saya ketika itu, saya kira begitu saya menyelesaikan studi maka semua pintu kantor perusahaan akan terbuka dengan ramah untuk saya. Nyatanya tidak demikian.

Sejak tahun 1988 bermunculan bursa tenaga kerja baik itu melalui Departemen Tenaga Kerja dan partikulir/pihak swasta. Bagusnya bursa tenaga kerja dikala itu sangat tertib dan teratur dan benar-benar ada kontak dengan perusahaan-perusahaan. Sehingga kalau kita memang benar-benar memiliki skill ditunjang oleh pendidikan yang baik, maka akan cepat tersalurkan. Untuk beberapa perusahaan PMA hal ini sangat disenangi, karena mereka tidak perlu memasang iklan di surat khabar untuk mencarinya tetapi cukup mendapat penawaran dari bursa tenaga kerja ini, dan juga dianggap murah oleh perusahaan swasta tsb karena tidak usah ada perjanjian kontrak tentang bayar membayar, paling sebagai uang balas jasa saja. Disamping itu Bursa tenaga kerja akan meminta uang administrasi kepada pencari kerja. Pendaftaran juga ada jangka waktu berlakunya, seperti untuk 3 bulan atau 6 bulan, dan selama waktu itu maka bursa tenaga kerja akan berusaha mencari pekerjaan untuk kita. Oleh karena pada jaman itu Hp belum ada, maka kita sendiri sebagai pencari kerja harus selalu rajin datang menge-check apakah sudah ada lowongan pekerjaan. Dan kalau ada maka mereka membuatkan surat pengantar kepada kita untuk dibawa ke perusahaan ybs.

Saya sendiri menilai cara pada waktu sangat membantu. Disamping itu keseimbangan antara sektor lapangan pekerjaan dan pencari kerja masih seimbang.

Tetapi sayang, bursa tenaga kerja dari tahun ketahun ternyata berkembang tidak lagi representative. Selain pembayaran uang administrasinya mahal juga persyaratan yang diminta sering dilebih-lebihkan. Malahan tanpa umum ketahui banyak pungutan liarnya yang dilakukan oleh pegawai administrasi sendiri, dengan janji mereka akan memberi khabar kalau ada lowongan pekerjaan.

Tingkat kelahiran yang tinggi di Indonesia menyebabkan pula tingkat kebutuhan untuk masuk sekolah sangat tinggi. Dahulu masih bisa dihitung dengan jari Universitas atau akademi , tetapi jangan ditanya sekarang semua tumbuh subur seperti jamur dimusim hujan. Lulusan perguruan tinggi setiap tahunnya ternyata tidak bisa mengimbangi sektor lapangan pekerjaan yang tersedia. Dan perusahaan rata-rata menetapkan persyaratan yang tidak sesuai seperti ‘ usia muda dan kaya pengalaman ‘ loh bagaimana pengalaman kalau baru saja menyelesaikan pendidikan !

Juga sektor lapangan pekerjaan yang tersedia tidak sesuai dengan melimpahnya jenis permintaan lapangan pekerjaan. Para mahasiswa cenderung memilih fak. yang sekiranya bisa menjanjikan masa depan yang baik, seperti fak. ekonomi, kedokteran, hukum, per-bank-an dsb. tetapi jarang yang mau mengambil fak. sastra dan kebudayaan atau peternakan atau pertanian. Akhirnya lapangan pekerjaan yang betul-betul membutuhkan seorang akhli budaya sastra tidak pernah mendapat kandidat /calon pekerja. Istilahnya pasar - sepi. Setiap pencari kerja memilih kalau bisa kerja di Bank, bagian keuangan dll. Dengan kata lain sektor lapangan pekerjaan yang tersedia tidak cocok dengan pendidikan dan pengalaman. Inilah dilema sempitnya lapangan pekerjaan di Indonesia.

Sebab itu tidak heran, banyak bursa tenaga kerja yang akhirnya menjual janji-janji kepada pencari kerja untuk mencoba nasib mencari pekerjaan di luar negeri, baik dengan pendidikan yang cukup atau sama sekali minim, karena yang dilihat oleh Bursa adalah ” kuantitas pemasukan uang daripada kualitas pekerjaan. Makanya tidak mengherankan banyak para TKW kita yang tergelincir dalam tindakan se-mena-mena para majikan, atau banyak para TKI kita akhirnya bergelandangan di luar negeri dengan nasib yang belum tentu.

Apabila pemerintah dalam anggaran RAPBN nya bisa meng-alokasikan dana untuk memberi suntikan pada LSM didaerah-daerah dalam rangka meningkatkan keterampilan para pencari kerja, saya kira beban pemerintah menghadapi ‘ pengangguran, ‘ dan sempitnya sektor lapangan pekerjaan bisa sedikit ter-atasi.

Salam hangat mari ciptakan sektor lapangan pekerjaan sendiri - wiraswasta @Della Anna

-da22092010venlo-

Source: Kompasiana.com

1 comments:

Bank Soal CPNS Online mengatakan...

Ya itulah realitanya memang. Semakin hari lapangan kerja semakin menyempit. Ditambah masyarakat yang sangat kurang kreativitasnya. Angka pengangguran pun semakin meningkat.